
Hubungan cinta mereka sangat pelik karena Jake menderita impotensi akibat terluka dalam perang. Sementara itu, Brett agaknya gemar memperturutkan hasrat seksualnya dari satu lelaki ke lelaki lain. Tabiat seksualnya itu makin menyulitkan ketika Robert Cohn, kawan Jake, seorang penulis dan mantan juara tinju yang pernah berkencan dengan Brett, jatuh cinta pada Brett. Celakanya Cohn menyangka Brett pun mencintainya. Ruwetnya lagi Brett sesungguhnya telah bertunangan dengan Michael Campbell, laki-laki senegaranya.
Sekilas blunder cinta dan seks itu mirip opera sabun. Akan tetapi, melalui adegan demi adegan, dialog demi dialog yang sangat natural, Hemingway secara lembut, tanpa ketidaksenonohan kalimat-kalimat filosofis dalam sebuah cerita, berhasil menghadirkan problem eksistensial yang masing-masing karakter.
Ketika mereka melancong ke Spanyol untuk bersenang-senang menikmati fiesta—pesta kegamaan tujuh hari tujuh malam dengan acara khas: pertarungan banteng-matador—Brett tertarik pada seorang matador muda yang memancarkan “pesona laki-laki”. Pesta habis-habisan yang justru tidak lagi terasa sebagai pesta dan hadirnya sang matador dalam kemelut cinta itu membukakan mata mereka pada pertanyaan tentang makna perburuan kesenangan, perebutan cinta, dan apa saja yang sesungguhnya mereka peroleh.
“Kamu dengar? Muerto. Mati. Dia mati. Dengan tanduk menembus badannya.
Semua demi kesenangan.
Judul : Fiesta
Penulis :Ernest Hemingway
Penerbit : Bentang Pustaka
Kategori : Drama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar